Batik Peranakan Indonesia

Batik Peranakan Indonesia

Bagi orang Indonesia, sudah sangat tidak asing bagi kata peranakan. Peranakan sendiri ketika melihat terjemahannya di kamus merupakan sebutan bagi mereka yang merupakan etnis pendatang di negara Indonesia yang kemudian tinggal, menetap, menjadi warga negara Indonesia, dan telah beranak cucu di tanah air. Mereka yang dilabeli peranakan pada umumnya masih erat dengan budaya aslinya dan bahkan telah berasimilasi atau bercampur dengan budaya local setempat. Kegiatan perdagangan di bumi Indonesia menyebabkan pengasimilasian etnis peranakan menjadi cepat menyebar. Mereka yang disebut peranakan pada umumnya berasal dari etnis Tionghoa, Arab, India, dan Belanda. Kegiatan perdagangan itu juga yang menyebabkan terjadinya perkembangan yang pesat pada lahirnya batik peranakan di Indonesia, yang menurut sejarah berkembang di antara tahun 1800-1900 an.

Diketahui bahwa batik peranakan, menurut cara produksinya, dibagi menjadi dua kategori, yaitu keturunan peranakan yang membuat batik peranakan sendiri dan pribumi yang membuat batik peranakan. Untuk keturunan peranakan, ketika mereka membuat atau memproduksi batik, motif dan warna yang dibuat, kebanyakan menggambarkan detail asli dari mana mereka berasal. Sedangkan para pribumi yang memproduksi, motif dan warnanya biasanya telah bercampur antara motif peranakan dengan motif tradisional local mereka sendiri. Seperti contohnya adalah batik encim, yang merupakan asimilasi budaya Tionghoa, Indonesia, dan Belanda.

Batik Encim

Batik Encim digambarkan dengan kain umtuk dipakai sebagai sarung yang memiliki corak asli Jakarta (Batavia saat itu) seperti burung hong dan merak, dan warna-warna yang yang diasosiasikan dengan warna kepercayaan orang Tionghoa, merah dan kuning emas. Mereka mengkreasi ulang warnanya, dengan menghindari warna putih, yang bagi sebagian orang peranakan Tionghoa dimaknai kedukaan. Kata encim sendiri diambil dari bahasa Tionghoa Hokkien yang banyak berada di Indonesia yang berarti bibi/tante/nyonya yang memiliki kelas sosial yang tinggi. Biasanya, kain sarung encim dipadukan dengan kebaya betawi yang banyak dikenakan orang Jakarta pada awal 1900 an.

Sejarah pembatikan mencatat bahwa wilayah pesisir Pantai Utara Pulau Jawa merupakan wilayah yang paling banyak terdampak oleh masuknya kultur peranakan, yang disebabkan oleh adanya aktifitas perdangan melalui laut atau kapal yang bersandar pada pelabuhan-pelabuhan.

Batik Peranakan Cirebon
Batik Peranakan Cirebon

Wilayah tersebut meliputi Jakarta (Batavia), Cirebon, Pekalongan, Semarang, Rembang, sampai ke ujung timur di Surabaya. Itu pula yang menyebabkan tiap daerah tersebut juga memiliki corak, warna, dan kekhasan yang berbeda-beda tergantung bagaimana budaya local setempat berpengaruh dalam pencampuran dengan kultur yang dibawa oleh keturunan peranakan. Selain itu, pada masa awal pendudukan Belanda di Indonesia, banyak seniman gambar batik asal negeri kincir angin ini yang mendarat di Indonesia dengan membawa kultur dari negaranya. Sebut saja Carolina Josephine Von Franquemont di tahun 1840 yang memperkenalkan warna hijau Prankemon, hijau asli tanaman. Lalu ada pula Elisa van Zuylen yang memasukkan corak bunga, pohon, burung, dan kupu-kupu yang mengadopsi motif flora khas Eropa. Metzelaar, seniman batik Belanda lainnya mengangkat motif dongeng asal Eropa tersebut, diantaranya Hansel & Gretel, Sleeping Beauty, Cinderella, dll. Berikut juga seniman-seniman Belanda lainnya seperti A.F. Jans, Willer, Jacqueline Van Ardenne, Catherine Caroline van Oesterom, Scharff von Dop yang memiliki kekhasan nya masing-masing.

Batik Hokokai

Lain pula pada masa pendudukan Jepang di Indonesia yang mengalami pengaruh kekuasaan tersebut. Di pesisir utara Jawa terdapat pabrik batik milik peranakan Indo-Eropa atau Indo-Arab, dan mereka diharuskan untuk berkerja masa pendudukan Jepang. Hasil dari akulturasi budaya ini menghasilkan satu motif batik yang terkenal sampai saat ini yaitu motif batik Hokokai. Hokokai berisi detail dan isian yang lengkap dan mendetail seperti motif batik Pagi-Sore yang merupakan penggabungan dua motif dan warna yang berbeda pada sebidang kain, motif Terang Bulan, dan motif Tanahan Semarang, tetapi yang paling terkenal yaitu motif Bunga Sakura. Untuk detail motif fauna Batik Hokokai adalah Burung Merak yang melambangkan keindahan.

Batik Oey Soe Tjoen

Yang secara khusus kita bahas lebih mendalam adalah batik peranakan Tionghoa yang ada di sepanjang Pantai Utara Jawa. Wilayahnya tersebar luas lebih banyak yaitu Jakarta,Cirebon, Indramayu, Pekalongan, Demak, Lasem, Tuban, dan Gresik. Beberapa seniman batik yang terkenal diantaranya The Tie Siet, Oey Soen King, Liem Hok Sien, Liem Boen Tjoe, Liem Boen Gan,  Phoa Tjong Ling, dan yang paling populer adalah Oey Soe Tjoen. Batik peranakan asli Tionghoa ini mengusung beberapa motif andalan mitologi negara tirai bamboo seperti kilin, naga, burung phoenix (burung hong), dewa-dewa, api, awal, dan flora. Perbedaan mendasarnya dengan batik asli Indonesia terletak pada teknik pewarnaannya. Batik Jawa kuno memakai beberapa pewarnaan alami seperti genes, soga, akar pace, dan kayu tingi, sedangkan batik peranakan memakai warna-warna primer yang solid seperti merah, biru, hijau, dll. Bahkan pewarnaan batik gradasi diinisiasi oleh seniman batik peranakan. Untuk pemaknaan motif-motif asli peranakan Tionghoa dapat dilihat seperti contohnya, motif bunga seruni yang bermakna kesejahteraan dan keindahan. Motif naga dapat dimaknai sebagai symbol keberuntungan dan kemakmuran. Sama halnya dengan motif ikan yang dipercaya mendatangkan rejeki yang berlimpah, dan semua motif ini diturunkan ke anak cucu seniman tersebut sampai saat ini.

Batik Lasem

Untuk di daerah Jawa Tengah seperti Lasem, dengan seniman terkenalnya Tjoa Giok Tjiam yang membatik dengan huruf Tiongkok asli yang membuat karya batik Tigo Nagri yang terkenal tersebut. Dinamakan Batik Tigo Nagri karena dibuat di tiga tempat atau kota yang berbeda. Pewarnaan utamanya hanya ada tiga warna yang merepresentasikan tempat tiap warna. Warna coklat melambangkan tempat dibuatnya di Solo dengan warna sogannya, warna biru dibuat di pekalongan, sedangkan warna merahnya dibuat di Lasem.

Lain pula halnya yang ada di Solo, senimannya yang melegenda setara dengan seniman Batik Indonesia, Iwan Tirta, yaitu maestro batik peranakan Go Tik Swan atau yang dikenal dengan K.R.T. Hardjonagoro.

Batik Go Tik Swan
Batik Go Tik Swan

Ia dikenal karyanya dalam membuat naskah batik peranakan yang dicampur dengan batik Indonesia dengan menggali pola-pola batik yang langka dan jarang dikenal orang. Dari pola tersebut, naskah batik dikembangkan mulai dari motif hingga teknik pewarnaannya yang yang tidak melulu menggunakan warna coklat, tapi dipadukan dengan warna-warna yang lebih modern seperti biru, putih, atau kuning emas. Pewarnaan ini diadopsi dari batik pesisir yang cerah dengan dikombinasikan dengan motif Mataram, Solo dan Jogjakarta, atau yang dalam bahasa Belanda nya disebut Batik Vorstenlanden.