Sejarah Batik Pekalongan di Indonesia

Sejarah Batik Pekalongan di Indonesia

Semenjak Batik Indonesia ditetapkan menjadi Budaya Tak Benda Milik Bangsa Indonesia oleh UNESCO di tahun 2009, batik menjadi sebuah manifestasi dan identitas Indonesia. Orang Indonesia semua golongan umur, kelas sosial, dan lintas generasi memulai ketertarikan dalam seni batik, baik berupa kain maupun pakaian jadinya. Hal ini mengubah citra sebuah batik yang dicap kuno menjadi sebuah seni yang terutama oleh generasi muda dipandang sebagai identitas yang membanggakan. Karena ketertarikan tersebut, maka pengetahuan tentang batik pun mulai mencuat di media public, seiring keingintahuan masyarakat yang juga meningkat. Di antara batik-batik Indonesia yang populer seperti Batik Solo, Batik Jogja, Tenun Makassar, dan Tenun Bali, salah satu asal batik yang tidak dapat dilupakan sejarah dan perkembangannya adalah Batik Pekalongan. Pekalongan merupakan salah satu kota yang terletak di pesisir utara Jawa Tengah yang ternyata memiliki sejarah panjang bagaimana di kota tersebut telah terjadi peradaban batik.

Telah banyak dibahas di artikel-artikel sebelumnya, dimana sejarah kota Pekalongan menjadi sentra batik di Indonesia sangat berkaitan erat dengan peradaban Kerajaan Mataram Islam dengan juga sejarah bagaimana para pedagang atau saudagar yang berpergian juga berdagang ke kota yang disebut Kota Batik Dunia tersebut. Perang besar di Kerajaan Mataram diantara tahun 1825-1830 atau yang disebut Perang Jawa, membuat semua keluarga keraton pergi meninggalkan istana mereka yang dibagi ke dua arah, timur dan barat. Ke arah timur mereka menuju ke daerah Solo dan Jogja hingga kea rah Surabaya, sedangkan ke arah barat  kea rah Banyumas, Cirebon, Tegal dan Pekalongan.

Jauh sebelumnya pula, sejarah mencatatkan bahwa batik di Pekalongan telah dimulai pada abad ke-18, tepatnya sekitar tahun 1740, dimana pernah terjadi transaksi perdagangan kain ke Jakarta atau Batavia saat itu dari Pekalongan dengan total transaksi hingga 20,000 Real Spanyol (mata uang VOC saat itu) dalah setahun terakhir. Seorang saudagar batik terkenal asli Pekalongan bernama Nyai Singobarong seorang penjual batik dengan merek Pronocitro menjadi salah satu pelopor atau salah satu penjual batik terlama yang pernah ada di Pekalongan, sejak jaman Sultan Agung memimpin Kerajaan Mataram. Proses pembatikan yang menjadikannya sentra batik diestimasikan ada di tahun 1830-an setelah perang Jawa tersebut dengan para masyrakatnya yang beremigrasi ke beberapa daerah.

Munculnya pula beberapa daerah-daerah di Pekalongan sendiri membuat banyak desa disana bermekaran menjadi pusat-pusat batik kecil. Sebut saja Wiradesa, Kedungwuni, dan Tirto yang menjadi sentra batik Pekalongan di area barat, dan beberapa di timur seperti Setono, Nglumprit, dan Warungasem. Karena sibuknya kota ini membangun sentra-sentra baru, maka tersiar kabar ke para saudagar dari luar Indonesia untuk datang dan membeli produk-produk mereka. Banyak pedagang asal Melayu, Bugis, China, Arab, India juga Eropa. Kegiatan perdagangan tersebut tidak hanya memberikan keuntungan dalam peningkatkan pendapatan mereka, tapi juga bagaimana inkulturasi budaya yang masuk dari segala penjuru dunia membuat para produsen batik dapat memodifikasi motif-motif yang mereka buat yang disesuaikan dengan selera dan budaya pelanggan mereka. Hal ini pula yang membuat para perempuan Indo-Eropa juga memiliki ketertarikan secara khusus kepada seni pembatikkan.

Beberapa perempuan Indo-Eropa memiliki seni dalam menorehkan lukisan kedalam sebuah lembar kain yang nantinya juga merubah budaya fashion para perempuan keturunan tersebut. Buku yang ditulis oleh Harmen Velduisen yang diberi judul “Batik Belanda 1840-1940, pengaruh Belanda Pada Batik Jawa, Sejarah dan Kisa-Kisah Disekitarnya” bahwa para perempuan Indo-Eropa ini adalah para istri dari pejabat Kota Praja. Sebagian dari mereka bermukim di area Jalan Harenstraat (sekarang Jalan Diponegoro dan Imam Bonjol), Jalan Residenweg (Jalan Progo), dan di sekitar area Bugisan. Tokoh perempuan Indo-Belanda diantaranya seperti Lein Metzelaar, Eliza Charlota van Zuylen, dan Christina van Zuylen. Sedangkan beberapa perempuan peranakan keturunan Tionghoa yang sudah beranak cucu menjadi seniman batik di Pekalongan diantaranya Oey Soe Choen, Oey Soen King, dan Liem Ping Wie.

Batik Pekalongan Motif Jlamprang
Batik Pekalongan Motif Jlamprang

Beberapa motif yang dihasilkan karena adanya pencampuran budaya Indonesia dengan negara lain adalah seperti Motif Jlamprang yang terinspirasi dari negara India dan Arab, dimana motif ini adalah motif pengembangan dari Kain Potola asal India yang membentuk seperti banyak titik, bintang, dan motif arah angin. Beda halnya dengan pencampuran dengan budaya Jepang yang melahirkan motif yang disebut dengan Batik Jawa Hokokai atau Batik Jawa Baru.

Pola produksi batik di Pekalongan pada masa itu pula ditentukan oleh siklus pertanian, dimana ketika masa panen mereka bekerja di sawah, dan jeda sembari menunggu panen selanjutnya mereka memproduksi batik. Ini pula yang menandakan bahwa industry batik di Pekalongan bertumpu kepada pengusaha-pengusaha kecil, bukan pengusaha besar. Ini dikarenakan banyak para produsen tidak memiliki pabrik untuk memanufaktur batik, melainkan dikerjakan di rumah-rumah dan garasi, yang dimana industry ini menjadi penopang ekonomi kerakyatan dan ekonomi daerah Pekalongan pada umumnya. Saat ini tidaklah juga dapat dipungkiri Batik pekalongan adalah ikon batik Indonesia bukan hanya Solo atau Jogja, Pekalongan sangatlah menarik dan lebih mengikuti perkembangan jaman, dimana warna-warnanya cocok dengan iklim tropis di Indonesia yang berwarna cerah dan berani, juga motif-motifnya yang beranekaragam, membuat karakter orang Pekalongan memiliki ciri-ciri terbuka dengan budaya luar tetapi dengan pondasi ke-Indonesia-an yang tetap kuat dan tidak luntur.