Sejarah Batik Keraton Jawa

Sejarah Batik Keraton Jawa

Disebut pada judul, Keraton Jawa, karena topic kali ini akan mengacu kepada peradaban awal yang ada di Indonesia atau Nusantara, khususnya di Pulau Jawa, yaitu Keraton Mataram Kuno, yan terdiri dari 4 wilayah yaitu Yogyakarta dan Pakualaman (D.I.Yogyakarta) dan Surakarta dan Mangkubumi (Solo). Sebelum kesana, pada mulanya pada jaman Kerajaan Mataram Islam, batik berkembang dengan pesatnya dengan ragam motif yang banyak dan bervariasi, tidak hanya motif pakem yang awalnya mendominasi kerajaan seperti motif kawung,ceplok, dan poleng. Dikarenakan batik menjadi keageman atau busana resmi di kerajaan, maka batik lambat laun dipercaya menjadi symbol legitimasi sebuah keraton, dimana beberapa motifnya hanya boleh dipakai oleh sultan atau raja bangsawan di dalam keraton.

Motif Batik Udan Liris Keraton Jogjakarta
Motif Batik Udan Liris

Beberapa contohnya seperti motif parang, udan liris, hoek, cemukiran, dan semen lar ageng. Dikarenakan namanya yang menggaung hingga ke pelosok nusantara, Pemerintah Belanda melalui VOC mencoba untuk mencoba meredam popularitas Keraton Mataram dengan politik adu domba (Devide Et Impera).

Usaha Belanda membuahkan hasilnya pada tahun 1755, dimana terjadilah Perjanjian Giyanti, yang hasilnya memecah wilayah Kerajaan Mataram menjadi dua bagian, di bagian Timur Sungai Opak dan berkedudukan di Surakarta dipimpin oleh Sunan Pakubuwana III, dan satunya berada di Barat Sungai Opak, berkedudukan di Yogyakarta, dipimpin Sultan Hamengkubuwono I. Dua tahun berselang, 1757 Belanda mengadakan kembali Perjanjian Salatiga antara Kasunanan Surakarta dan Pangeran Sambernyawa. Sehingga, hasil dari perjanjian tersebut, wilayah Keraton Surakarta dibagi lagi menjadi dua, bagian utara, Pangeran Sambernyawa bergelar Mangkunegara I, tetapi sifatnya otonnom, maka tidak bisa bergelar sultan, tapi Pangeran Adipati Arya. Hal yang sama terjadi di Kesultanan Jogjakarta. Tahun 1813, Gubernur Sir Thomas Raffles menobatkan Pangeran Notokusumo, anak dari Hamengkubuwono I (HB I) dan Selir Srenggowati, menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam I. Kadipaten Pakualaman meliputi Kecamatan Pakualaman dan Kabupaten Adikarto di bagian selatan Kabupaten Kulon Progo.

Perjanjian Giyanti pada 1755 juga mengatur tentang pembagian gamelan baru, tari bedhaya pusaka, dan beberapa wayang lama, dan pembuatan tata busana gaya baru. Buku “Di Balik Makna 99 Desain Batik” disebutkan perkembangan seni di Keraton Surakarta disebu lebih berkembang pesat, anggun, dan cantik, dikarenakan tenaga pekerja, dan pemikir di Surakarta lebih banyak berkelamin perempuan.

Motif Batik Pisan Bali
Motif Batik Pisan Bali

Ada beberapa motif batik Solo yang tidak dikenal di budaya Jogjakarta seperti Pisan Bali, Bondhet, Larasati, Kokrosono, dan Lintang Trenggono, yang juga mengalami akulturasi budaya dengan banyak negara seperti Belanda, China, dan India. Ada perbedaan lainnya antara busana Surakarta, seperti perkembangan kain dodotan (kemben) yang motifnya lebih banyak, lalu penggunaan mekak, sanggul kadal menek, dan aneka jenis kain lainnya.

Untuk perkembangan batik Kesultanan Yogyakarta sendiri lebih lamban daripada Kasunanan Surakarta pada awalnya. Ini dikarenakan tata cara yang digunakan lebih mengutamakan tata cara ala Kerajaan Mataram Kuno. Jika perkembangan seni di Surakarta lebih cantik dan anggun, maka di Jogjakarta lebih gagah dan tegas. Seperti yang sudah ditulis pada artikel sebelumya, banyak sekali motif larangan Keraton Jogjakarta yang hanya boleh dipakai oleh raja, seperti Parang Rusak, parang Kesit, parang baris, rujak santhe. Perkembangan batik di Yogyakarta sangat dipengaruhi oleh para permaisuri dan selir raja semasa hidupnya.

Motif Batik Sonder Mangkunegaran
Motif Batik Sonder Mangkunegaran

Untuk sejarah batik di Kadipaten Mangkunegara sendiri, mengalami perubahan yang pesat pada Mangkunegara VII, terdapat pernikahan dengan GKR Timur, anak dari HB VII. Dengan adanya pernikahan tersebut, maka pengaruh budaya Yogyakarta pada Mangkunegara semakin besar. Beberapa motif Jogja yang diadopsi oleh Mangkunegaran seperti parang sarpa, parang pucang, rinenggo, ceplok ksatrian, dan parang hoek. Motif alas-alasan untuk pernikahan masih didominasi oleh semen lar ageng, semen sidoasih, dan semen gendong. Perbedaan mendasar batik Surakarta dan Mangkunegaran adalah warnanya yang lebih soga muda atau terang untuk batik Mangkunegaran. Beberapa sentuhan Jogjakarta di Mangkunegara juga terlihat seperti penggunaan cundrik dengan patrem jebeng.

Motif Batik Krastala Pakualaman
Motif Batik Krastala Pakualaman

Terkahir, adalah batik Kadipaten Pakualaman. Keunikannya terjadi juga ketika peristiwa perkawinan terjadi di lingkungan dalam. Seperti halnya di Mangkunegaran, GBRA Retno Puwoso, anak Pakubuwono X ke Pakualaman, membawa nuansa Surakarta ke dalam Pakualaman. Beberapa kesenian yang berkembang pesat di Pakualaman adalah tata busana, tari, dan batik. Penggunaan dodotan juga diadopsi, dalam tari menggunakan sanggul kadal menek, sanggul tekuk, dan kantong gelung. Pada bidan karawitan Pakualaman mengenal gending yang ada di Surakarta, seperti gambirsawit, kinanti jurudemung, dan kinanti padang bulan.